Panduan Singkat dalam Memberi Pujian atau Apresiasi

sumber gambar: Nadil

"Seberapa sering anda mengalami kegagalan dalam berusaha mencapai tujuan?"

Setiap orang nyaris dipastikan memiliki tujuan tersendiri dalam hidupnya. Pertanyaan di atas akan selalu muncul pada diri kita masing-masing, sebab kegagalan tak akan pernah lepas dari kehidupan kita. Jika kita pernah gagal, pertanyaan selanjutnya yang akan muncul adalah “berapa kali kita mampu bangkit?” 

Konsep grit telah dihabas pada tulisan sebelumnya, bahwa secara sederhana kesuksesan seseorang bukan terletak pada IQ-nya yang tinggi dan kesuksesan bukan bawaan lahir. Melainkan ketahanan seserorang yang mampu bangkit dalam kegagalan untuk berusaha kembali mencapai tujuan.


Hal lain yang menarik setelah membaca mengenai topik grit di antaranya, “apa yang membuat kita mampu bangkit untuk berusaha kembali?” Mihaliy Czikszentmihalyi dalam bukunya “Flow: The Psychology of Optimsl Experience” menjelaskan titik keterlibatan yang disebutnya kondisi mengalir adalah keadaan ketika seseorang begitu terlibat dalam suatu aktivitas sehingga ia melihat aktivitas itu sebagai sebuah beban.

Lebih jauh dalam sub bab berikutnya menjelaskan jika memori bukan  satu-satunya alat untuk membentuk apa yang masuk ke dalam pikiran manusia, sistem paling sederhana yang menata semuanya adalah pemberian nama pada berbagai hal. Melalui kata-kata manusia mentransformasikan berbagai peristiwa ke dalam kategori-kategori.


Penjelasan di atas menjadi menarik setelah membaca penelitian yang dilakukan oleh Carol Dweck, Psikologi sosial di Stanford University, terhadap 400 siswa kelas 5 di New York. Penelitian ini bertujuan ingin melihat seberapa besar sinyal (tanda) kecil pada sebuah kalimat pujian bisa mempengaruhi kinerja dan usaha, dan betapa sinyal tersebut sangat efektif.

Langkah pertama, Dweck memberikan setiap anak tes yang terdiri dari teka teki mudah. Setelah itu, peneliti pun memberitahu skor seluruh anak, serta menambahkan pujian. Separuh anak dipuji atas kecerdasan mereka (“kamu pasti pintar dalam hal ini”), dan separuhnya dipuji untuk upaya mereka (“kamu pasti telah berusaha sangat keras”).

Langkah kedua, anak diuji untuk kedua kalinya, tetapi kali ini mereka ditawarkan pilihan antara tes yang lebih sulit dan lebih mudah. Hasilnya 90%  anak-anak yang dipuji karena usahanya memilih tes yang lebih sulit. Temuan lain, sebagian besar anak yang dipuji karena kecerdasannya, memilih tes yang lebih mudah. Mengapa demikian terjadi? Dweck menjelaskan bahwa ketika kita memuji anak-anak untuk kecerdasan mereka, secara tidak langsung kita mengatakan kepada mereka “itulah permainannya: terlihat cerdas, jangan ambil risiko membuat kekeliruan”.


Selanjutnya, mereka memasuki tes tingkat ketiga yang secara bersamaan, tak seorang pun dari anak mengerjakannya dengan baik. Meski begitu, respon yang dimunculkan dari kedua kelompok berbeda. Respon dari “anak yang dipuji karena usahanya” lebih menggali dan tertarik mengerjakan tes, mereka melakukan berbagai solusi dan menguji berbagai strategi, kemudian menyampaikan jika mereka menyukainya. Sedangkan respon “anak yang dipuji untuk kecerdasaannya” membenci tes yang sulit. Mereka menganggapnya semacam bukti bahwa tidak cerdas.

Pada tahap akhir eksperimen, anak-anak kembali diberikan tes dengan tingkat kesulitan yang sama dengan tes awal. Hasilnya menunjukkan, kelompok yang dipuji karena usahanya meningkat 30%, sementara kelompok yang dipuji untuk kecerdasannya, justru skornya merosot sekitar 20%. Semua itu hanya karena enam kata singkat yang diletakkan pada diri mereka.

Budaya memberi apresiasi atau pujian yang jarang kita temui, kerap kali mampu memberi efek yang besar bagi langkah seseorang. Sekiranya temuan di atas bisa menjadi acuan atau bahan refleksi bagi kita semua dalam memperlakukan adik, anak, dan orang lain di sekitar kita. 



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel