Memahami 3 Tahapan Psikologis Korban Bencana


Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki sejumlah daerah rawan bencana alam. Bencana alam berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana didefinisikan sebagai  berikut: 

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. 

Penyebab bencana yang paling sering terjadi diakibatkan oleh cuaca, seperti gelombang panas, gelombang dingin, angin topan), api (kebakaran), gempa bumi, jatuhnya pesawat udara; kecelakaan kereta, kecelakaan kapal, dan kecelakaan lainnya. Selain itu kegagalan struktural bangunan (gedung/jembatan/dam runtuh) juga memakan banyak korban. Bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, dan bajir merubah kehidupan manusia dari kondisi damai dan bahagia menjadi sangat menakutkan. Akibat peristiwa tersebut, harta benda hilang dan lenyap seketika, terlebih lagi jika bencana tersebut memakan korban jiwa dalam jumlah yang besar. Salah satu yang masih kurang mendapat perhatian adalah tekanan psikologis yang menimpa korban bencana.  

Reaksi korban bencana akan memperlihatkan berbagai respon psikologis atas situasi yang ada, mulai dari terguncang, ketakutan, sedih, dan marah. Lewis R. Aiken dalam bukunya yang berjudul Dying, Death, and Bereavement menjelaskan tahapan psikologis korban bencana. 

Pertama-tama korban memasuki stage of shock (tahap shock/ tergoncang), korban akan bingung, terpaku, bersikap apatis, dan mengalami rasa kehilangan kendali. Tahap berikutnya adalah suggestible stage, sepanjang tahap ini mereka menganggap diri mereka sebagai suatu massa tak berbentuk yang cenderung bertindak pasif dan menurut/compliant. Mereka menunjukkan kelambatan psikomotorik, emosi yang datar, somnolence, dan dalam beberapa kasus dapat terjadi amnesia (hilangnya memori) tentang data/identifikasi pribadi. Mereka tak pedulian dan dengan mudah dipengaruhi. Yang terakhir adalah recovery stage (tahap kesembuhan), yang terjadi ketika survivor sudah menerima bantuan. Tahap ini dimulai dengan berangsur-angsur hilangnya ketegangan, pengertian, dan kecemasan yang meluas. Pada akhirnya individu yang selamat tersebut akan mendapat kembali keseimbangannya. Pada tahap ini survivor biasanya mengalami suatu kebutuhan yang mendesak untuk membicarakan tentang bencana yang dialaminya tersebut, mereka menceritakannya berulang-ulang, dengan penekanan dan detil yang serupa.

Selanjutnya, bencana pun dapat menimbulkan trauma. Trauma akibat kejadian mengejutkan yang berlangsung satu sampai tiga bulan masih dikatakan sebagai reaksi yang normal. Kondisi ini disebut Post-traumatic stress disorder (PTSD) apabila perasaan cemas, mimpi buruk, dan bayangan-bayangan peristiwa yang berhubungan dengan bencana, cenderung jadi mudah terkejut, bermasalahan dalam hubungan sosial dan melakukan penyalahgunaan obat penenang atau pengalaman lain yang stres masih terjadi lebih dari bulan ketiga setelah kejadian atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Peristiwa mengerikan yang dialami individu menjadi ingatan yang menghiasi jaringan susunan emosi. Gejala tersebut merupakan tanda amigdala terlalu banyak tergugah sehingga memaksa ingatan yang hidup akan sesuatu peristiwa terus menerus menerobos kesadaran. Setiap peristiwa yang menimbulkan trauma bisa menanamkan ingatan-ingatan pemicu di amigdala. 

Secara mendasar, terdapat dua kondisi psikologis yang dilalui korban bencana yang lolos dari kematian. Pertama, para korban menanggung beban psikologis yang berat sebab mesti melewati trauma kehilangan sanak keluarga serta orang-orang yang dicintai. Kondisi ini dapat menjadi pemicu stres hingga depresi yang berkepanjangan. Selain itu, mereka juga mengalami kehilangan harta benda dan mesti memulai hidup dari awal. Kedua, situasi sulit membuat mereka mesti bangkit atau dalam hal ini melakukan resiliensi. Dibutuhkan kesiapan mental dalam menghadapi berbagai bencana yang dapat terjadi kapan saja. Selain penyebaran informasi terkait bencana, sudah saatnya kesiapan psikologis penting untuk diperhatikan dan dirumuskan dengan baik. Belakangan kita terbantu atas hadirnya bapak Sutopo Purwo Nugroho, yang merupakan Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui akun twitternya @Sutopo_PN. Melalui informasi yang disebarkan, secara psikologis hal itu dapat membantu kita memahami kondisi yang terjadi. 

Hari ini, 7 Juli 2019, beliau berpulang setelah berjuang menghadapi kanker paru-paru. Semoga beliau senantiasa mendapat rahmat dan lindunganNya. #RipSutopo

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel