Pesta Demokrasi di antara Pavlov dan Endgame


Seminggu yang lalu saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Saya mengunjungi orang tua yang sempat sakit beberapa hari sebelumnya. Sebelum tiba di rumah, di dalam angkutan umum yang saya tumpangi mengalami kendala teknis, sehingga tak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Masih ada setengah perjalanan dari kota Makassar menuju kampung halaman. Di pinggir jalan, tiba-tiba pengendara motor berhenti, menyapa lebih awal. Ternyata ia kawan lama saya sejak SD. Saya memutuskan untuk ikut dengannya.

Di perjalanan ia pun bercerita beberapa hal mengenai pemilihan calon legislatif (pilcaleg) yang telah selesai terselenggara, namun belum usai diperdebatkan. Pilcaleg di kampung halaman kami sendiri adalah pemilihan yang mempertaruhkan segala hal hanya untuk mendapatkan kursi di DPRD. Terlebih daerah yang menganut budaya siri’, salah satunya adalah kampung kami, maka apapun yang menjadi syarat akan diusahakan.  Namun karena keinginan untuk mendapatkan kursi pun meninggalkan beberapa kerusakan di masyarakat.

Kerusakan yang dimaksudkan adalah beberapa masyarakat menolak untuk menggunakan hak suaranya. Menurutnya menggunakan hak suaranya tidak mendapatkan sama sekali umpan balik, kecuali jika ada yang ingin membayarnya. Parahnya lagi, pesta demokrasi 2019 ini, mengharuskan kita menentukan lima pilihan sekaligus, dengan begitu ia mengharapkan imbalan dari setiap kandidat pada masing-masing jenis suara yang menginginkan hak suranya. Termasuk calon presiden. Lain lagi kisah calon legislatif yang juga mengalami penurunan tingkatan moral.

Menurut pantauan kawan saya. Beberapa calon legislatif yang ikut berkontestasi pemilu kemarin kembali mencalonkan diri untuk tahun ini. Caleg ini merupakan calon yang kalah akibat rivalnya yang lain menggunakan kekuatan politik uang untuk mengantarnya mendapatkan kursi. Sedangkan dirinya hanya menggunakan unsur relasional kepada masyarakat dan beberapa rekam jejaknya yang terbilang baik di masyarakat. Keinginannya yang bulat maju kembali di tahun ini menggunakan cara yang ideal mulai luntur. Lima tahun yang lalu membuatnya belajar bahwa kemenangan akan mengantarkannya tidak serta merta karena dirinya punya rekam jejak yang baik. Sebab rekam jejak yang baik akan kalah dengan yang berduit. Ia maju sebagai kandidat dengan mengandalkan uang. Namun kabarnya ia kembali tidak terpilih berdasarkan hasil hitung cepat, sebab lagi-lagi iya kalah dengan rivalnya yang jauh lebih banyak mengeluarkan uang kepada masyarakat.

Kejadian di atas merupakan akumulasi dari proses pesta demokrasi di masa lalu yang kemudian semakin parah di masa sekarang mungkin akan lebih parah di masa mendatang. Peristiwa tersebut merupakan perilaku Classical Conditioning dalam istilah psikologi. Classical conditioning merupakan salah satu tipe pembelajaran yang ditemukan oleh Ivan Pavlov. Dalam eksperimennya Pavlov, membunyikan sebuah lonceng di belakang anjing tersebut dan kemudian bubuk daging dimasukkan ke mulutnya. Setelah prosedur itu dilakukan beberapakali, anjing tersebut mulai berliur ketika mendengar bunyi lonceng dan sebelum diberi bubuk daging.

Bubuk itu disebut stimulus tak terkondisikan (UCS) dan respon berupa keluarnya air liur disebut respon tak terkondisikan (UCR). Ketika pemberian bubuk daging beberapakali diawali dengan suatu stimulus netral, yaitu bunyi lonceng, bunyi lonceng itu sendiri adalah stimulus terkondisi (CS). Proses yang sama pada pemilu kemarin, sebagaian masyarakat ketika memasuki pemilu menganggap bahwa momen ini adalah ladang pendapatan bagi mereka. Jika sedari dulu sebelum mengenal politik uang, menentukan pilihan sama dengan tidak ada pemberian uang, kemudian memasuki tahun pemilu menentukan pilihan akan mendapatkan uang. Begitu  menjumpai tahun pemilu berikutnya, masyarakat akan berpikir jika sebentar lagi ia akan mendapatkan uang. Memberikan stimulus yang berulang-ulang kepada masyarakat akan membentuk skema berpikir yang baru dan akan merespon hal tersebut jika mendapatkan kondisi yang sama.

Hal serupa bisa juga terjadi pada pelaku politik elektoral, di mana stimulus yang terkondisikan dapat terbentuk dalam dirinya. Memenangkan pertarungan politik dengan politik uang akan kembali dilakukan dengan hal yang sama jika momentum pemilu kembali digelar. Tentu saja hal ini akan merusak cara berpikir kita dalam memandang politik, bahwa kemenangan hanya dapat ditempuh dengan sejumlah uang. Kejadian tersebut bisa saja dilakukan oleh hanya segilintir orang yang gila syahwat kekuasaan dan akan merusak sebagian orang-orang yang melakukan dengan cara yang jujur.

Berbicara mengenai waktu di masa lalu dan kerusakan, saya mengingat bagaimana Thanos dalam film Avengers: Endgame menghilangkan sebagian umat manusia dari bumi yang mampu diperbaiki oleh tim Avengers. Batu infinity stones yang berupaya dijaga oleh para Avengers kemudian disalah gunakan oleh keinginannya untuk menguasai bumi. Thanos yang berhasil mendapatkan ke enam gabungan kekuatan itu menghilangkan sebagian umat manusia. Kehilangan sebagian umat manusia membuat dunia tidak stabil. Pahlawan Avenger pun melakukan upaya untuk mengembalikan kerusakan menggunakan time traveler. Tujuan tim Avengers ini melakukan time travel ini untuk merubah masa depan saat Thanos sukses menghilangkan sebagian populasi Bumi. 

Tim Avengers ini awalnya menggunakan grandfather paradoks yang merupakan konsep paradoks paling populer. Grandfather paradoks berpendapat jika saat seseorang melakukan time travel ke masa lalu, maka masa depan tempatnya berada akan berubah.

Dalam film Avengers: Endgame, War Machine memberikan saran agar tim Avengers ini kembali ke masa Thanos masih bayi untuk membunuhnya agar Thanos di masa depan tidak pernah lahir dan ada, persis seperti konsep grandfather paradoks.

Namun, teori ini dibantah keras oleh Tony Stark dan Bruce Banner. Menurut keduanya, time travel memang tidak berjalan semudah itu. Pasalnya, saat seseorang melakukan time travel, ada hukum fisika yang berlaku.
Many Worlds Theory berpendapat bahwa saat seseorang melakukan time travel, akan timbul realitas baru yang sama sekali tidak mengubah realitas yang sudah ada di masa kini. Pemahaman ini yang lalu digunakan oleh tim Avengers untuk memperbaiki segala hal yang sudah dihancurkan oleh Thanos.

Kita berharap kondisi politik di Indonesia akan semakin membaik, melakukan time travel mungkin adalah hal yang mustahil dilakukan, namun menjumpai pemilu adalah hal yang pasti. Semua orang mampu menggunakan kekuatannya dalam mendapatkan kemenangan. Sebab kekuatan adalah tanggung jawab. Bukan kelebihan untuk mempermudah tercapainya kejayaan pribadi. Karena sejarah masa lalu bukanlah apa yang akan mendefinisikan kita. Karena ini bukan perkara benar atau tidaknya alasan. Melainkan cara apa yang kita gunakan di sepanjang jalan untuk menuju pencapaian. Itu yang akan membuktikan apakah kita berhasil bertahan sebagai manusia atau bukan. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel