Berhenti Malas Membaca: Mencatat 7 Manfaatnya Berdasarkan Penelitian Psikologi


Beberapa pekan terakhir saya merasa diserang kemalasan untuk membaca. Dengan berbagai alasan, saya bisa menyebutkan banyak hal dibalik kemalasan itu. Sepertinya, kemalasan memang selalu diikuti dengan pembenaran-pembenaran yang tak ingin terbantahkan. Semakin sadar dengan itu, saya pun yakin jika kondisi ini benar-benar mengkhawatirkan. Meski di satu sisi, nikmatnya kemalasan sungguh luar biasa. Tapi, saat saya merasa berada di titik malas membaca, saya percaya ini bukanlah sesuatu yang baik untuk saya. Sehingga, saya memilih menulis artikel ini sebagai langkah untuk melawan pembenaran kemalasan dengan pembenaran lainnya, yang mungkin akan lebih kuat dan bermanfaat. 

Baca juga: 3 buku pilihan untuk mengenali kebahagiaan kita sehari-hari

Beberapa waktu lalu, saya juga mendapati sebuah artikel yang memperlihatkan data dari Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan yang merilis indeks aktivitas literasi membaca di 34 Provinsi di Indonesia. Provinsi, tempat saya sekarang menetap tergolong rendah. Aktivitas membaca dari 34 provinsi di Indonesia memperlihatkan, hanya 9 provinsi yang masuk dalam aktivitas literasi sedang, 24 provinsi masuk dalam literasi rendah, dan satu provinsi masuk dalam kategori literasi sangat rendah. 

Berikut indeks Dimensi Budaya Provinsi dari tingkat tinggi ke rendah:
1. Kepulauan Riau
2. DIY Yogyakarta
3. DKI Jakarta
4. Kalimantan Utara
5. Aceh
6. Kalimantan Timur
7. Sulawesi Utara
8. Bengkulu
9. Bali
10. Bangka Belitung
11. Sumatera Barat
12 Sumatera Utara
13. Riau
14. Gorontalo
15. Sulawesi Selatan
16. Sumatera Selatan
17. Kalimantan Tengah
18.Sulawesi Tenggara
19. Kalimantan Selatan
20. Jawa Barat
21. Banten
22. Maluku
23. Jambi
24. Sulawesi Tengah
25 .Jawa Timur
26. Nusa Tenggara Barat 
27. Maluku Utara
28. Papua Barat
29. Jawa Tengah
30. Sulawesi Barat
31. Nusa Tenggara Timur
32. Kalimantan Barat
33. Lampung
34. Papua

Selain data di atas, saya yakin teman-teman sudah sering menemukan data yang memperlihatkan bahwa kita adalah bangsa yang malas membaca. Tapi sebenarnya, kebenaran dari sejumlah data itu akan terus berulang jika para pembaca di Indonesia ternyata tak berhasil menemukan alasan untuk bertahan menjadi pembaca. Mungkin terdengar utopis jika menginginkan adanya segelintir orang yang bermimpi menjadi pembaca, tapi kelompok itu sebenarnya penting untuk kita miliki. Pun jika tak jadi pembaca, setidaknya ada yang sadar jika membaca penting. Dengan modal kesadaran itu, mungkin dia akan berjalan menjadi seorang pembaca sembari menemukan alasan tepat untuk tetap membaca.  

Mengapa saya harus membaca buku? Ada beberapa alasan pribadi saya, tapi kali ini saya hanya akan menulis jawaban berbeda. Jawaban itu saya kumpulkan dari beberapa penelitian psikologi tentang manfaat membaca. Kiranya, artikel ini dapat membantu untuk membangun dan menemukan alasan bagi siapa saja yang diserang kemalasan atau bahkan hilangnya keinginan untuk membaca sama sekali. 

Baiklah, ini beberapa penelitian yang dapat menjadi alasan, mengapa kita harus membaca:


Pertama, membaca dapat menurunkan stres yang kita alami. 

Hari ini kita dipenuhi dengan banyak tuntutan dan hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya. Semua itu tentu saja memudahkan stres menyerang kita. Nah, di tahun 2009 sebuah penelitian berusaha memecahkan masalah itu dengan membaca. Para ilmuwan di University of Sussex di Inggris menilai bagaimana berbagai aktivitas menurunkan stres dengan mengukur detak jantung dan ketegangan otot. Membaca buku atau koran hanya selama enam menit menurunkan tingkat stres orang hingga 68 persen — efek yang lebih kuat daripada berjalan-jalan (42 persen), minum secangkir teh atau kopi (54 persen), atau mendengarkan musik (61 persen) .

Saat membaca, ada proses relaksasi yang lebih dari berbagai aktivitas lainnya. Proses itulah yang membuat kita dapat menurunkan atau terbebas dari stres.

Baca juga: 5 film yang membuat kita belajar tentang kesehatan mental

Kedua, membaca dapat meningkatkan keterampilan bahasa dan pengetahuan kita.

Sebuah studi 2013 menemukan bahwa anak-anak yang membaca untuk kesenangan cenderung memiliki keterampilan bahasa jauh lebih baik di sekolah daripada teman-teman sebayanya. Studi yang dilakukan oleh para peneliti Institute of Education (IOE) Alice Sullivan dan Matt Brown. Menurut para peneliti, kemampuan untuk memperoleh dan memproses informasi sangat penting di sini – dan di situlah membaca dapat memberikan manfaat yang lebih besar. 

Selain itu, di tahun 1990-an Keith Stanovich bersama rekannya melakukan rangkaian penelitian untuk melihat manfaat membaca. Peneliti menilai hubungan antara keterampilan kognitif, kosa kata, pengetahuan faktual, dan paparan terhadap penulis fiksi dan nonfiksi tertentu. Peneliti menggunakan Author Recognition Test (ART) yang merupakan alat ukur untuk menilai keterampilan membaca. Peneliti kemudian melaporkan bahwa para pembaca yang rajin, memiliki kosakata sekitar 50 persen lebih besar dan pengetahuan berbasis fakta sebesar 50 persen lebih baik dibanding kelompok yang tidak rajin. Nah, mungkin ini juga yang menjadi alasan – mengapa di Indonesia hoax mudah tersebar – pengetahuan kita kadang tidak berbasis fakta melainkan berbasis sebaran grup WhatsApp. 

Ketiga, membaca dapat memperpanjang umur kita.

Mungkin ini terdengar aneh, tapi seperti itulah faktanya. Rutinitas membaca kita dalam sehari dapat memberi pengaruh pada umur kita. Para peneliti dari Universitas Yale melibatkan lebih dari 3600 orang dewasa di atas usia 50 tahun selama 12 tahun untuk diteliti. Peneliti menjelaskan bahwa orang yang diketahui membaca buku selama 30 menit sehari, hidup hampir dua tahun lebih lama daripada mereka yang membaca majalah atau koran. Peserta yang membaca selama 3,5 jam dalam seminggu memiliki 23 % umur yang lebih panjang. Hal ini diakibatkan adanya beragam aktivitas dalam tubuh yang terjadi saat kita membaca. Semua itu kemudian dapat berefek pada umur kita. 


Manfaat Membaca Sastra

Bila sebelumnya, penelitian yang dijelaskan hanyalah berdasarkan perilaku membaca. Kali ini saya mencatat secara khusus penelitian tentang bacaan sastra dan kondisi psikologis kita. 

Keempat, membaca dapat mengubah kepribadian kita menjadi lebih baik.

Peneliti dari Universitas Toronto mengumpulkan sebanyak 166 orang untuk mengisi kuesioner tentang emosi dan sifat kepribadian utama mereka, berdasarkan Big Five Inventory. Satu kelompok secara terpisah diminta untuk membaca cerita pendek Anton Chekhov yang berjudul “The Lady with the Toy Dog” Cerpen ini berkisah tentang seorang pria yang bepergian ke sebuah resort lalu berselingkuh dengan seorang wanita yang telah menikah. 

Kelompok lain diminta membaca sesuatu yang bukan karya sastra, tapi mirip dengan situasi di kelompok sebelumnya. Mereka diminta membaca laporan dari pengadilan atas kasus perceraian. Setelah itu, semua orang diminta menjawab pertanyaan kepribadian yang sama dengan yang mereka jawab sebelumnya — dan tanggapan pembaca sastrai telah berubah secara signifikan.
Mengapa jawaban mereka dapat berubah? Hal tersebut merupakan manfaat sastra dalam memberikan cara pandang bagi seorang pembaca. Ada pengalaman serta bayangan peristiwa yang membantu kita dalam pengambilan keputusan kita. 

Kelima, membaca dapat meningkatkan empati kita. 

Pada tahun 2003, penelitian dari Universitas Harvard menjelaskan jika membaca sastra dapat meningkatkan empati seseorang. Para partisipan penelitian dibagi dalam beberapa kelompok, ada yang membaca sastra, fiksi populer, non-fiksi, dan tidak membaca sama sekali. Tiap kelompok kemudian diminta untuk mengidentifikasi emosi dalam ekspresi wajah yang diberikan oleh tim peneliti. Hasilnya, kelompok yang membaca sastra terbukti secara signifikan memiliki hasil yang lebih baik dibanding kelompok lainnya. Penjelasan ini kemudian disebut sebagai Theory of Mind.  

David Kidd sebagai peneliti utama menjelaskan bahwa membaca sastra membawa kita mengenal berbagai karakter dalam cerita dan itu mampu memberikan keterampilan dalam memahami emosi orang lain. 

Keenam, membaca dapat meningkatkan fleksibilitas dan kreativitas.

Maia Djikic melakukan penelitian yang melibatkan sekitar 100 orang yang ditugaskan untuk membaca sastra atau esai nonfiksi. Para peserta kemudian mengisi kuesioner yang bertujuan untuk menilai need for closure mereka, sesuatu yang memperlihatkan kecenderungan seseorang dalam mencapai kesimpulan dengan cepat dan menghindari ambiguitas dalam proses pengambilan keputusan. Pembaca sastra tampak sebagai lebih fleksibel dan kreatif daripada pembaca esai — dan efeknya paling kuat akan terasa bagi orang yang membaca secara teratur.

Sastra dianggap mampu menurunkan need for closure, yang menjadi salah satu akibat mengapa seseorang dapat berpikiran tertutup dan tidak kreatif, sesuatu yang membuat kita sulit menerima ketidakpastian. Semakin rendah need for closure seseorang, hal tersebut dapat berpengaruh pada fleksibilitas, kreativitas dan pikiran yang lebih terbuka. 

Baca juga: Buku "The Power of Habit": 3 konsep utama dan pola mengubah kebiasaan

Ketujuh, membaca dapat ….

Saya rasa anda punya alasan pribadi atau hal lain di luar dari berbagai penelitian di atas. Setiap orang punya ruangnya masing-masing dan biarkan alasan ketujuh ini bebas menemui pemiliknya masing-masing. 

Saya berharap dapat membaca lebih baik lagi. Semoga saja catatan ini dapat membantu dan bermanfaat. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel