Bagaimana Melihat dan Menjadi Diri Sendiri?


Mungkin kita seringkali mendengar petuah amat lazim ini, be your self atau jadilah dirimu sendiri. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar bisa menjadi diri sendiri? Jika bisa, bagaimana caranya—sementara kita tak mungkin lepas dari pengaruh orang lain di sekitar kita. Ada kecenderungan meniru orang yang kita kagumi, dan mengikuti berbagai gaya yang kita saksikan sehari-hari atau lagi trendy, di lini masa terutama. Lantas, menjadi diri sendiri itu apa?

Pada satu kesempatan menonton di bioskop beberapa waktu—sekitar dua bulan lalu, saya menyimak adegan ini di film superhero Captain Marvel: saat Yon Rogg—diperankan Jude Law—melatih Carol Danvers—diperankan Brie Larson—memberi nasihat yang maksudnya kurang lebih begini, “Berjuanglah menjadi dirimu yang terbaik!” Kalimat itu seketika membawa saya yang duduk di kursi bioskop berpindah ke sudut kursi pete-pete (angkutan umum di Makassar) yang sedang melintas di perempatan Jipang Raya dan Tala’salapang menuju Minasa Upa kurang lebih dua setengah tahun silam. Membawa saya menyulam kembali ingatan. 

Di pete-pete (istilah angkutan umum di Makassar) sore hari, sebuah pesan whatsapp masuk dari supervisor magang saya waktu itu beserta tugas baru berikutnya, bunyinya begini, “Minta tolong dikerjakan versi terbaiknya Amirah ya.” Saya mengerjakan tugas serupa dengan sepenuh hati di awal. Tugas berikutnya menjadi seapaadanya karena meniru cara kerja rekan magang lain—yang bisa menyelesaikan banyak tugas dalam waktu singkat. Sepertinya pesan itu sekaligus menjadi komentar untuk tugas yang baru saja saya setorkan. Hasil kerja saya kali ini kurang baik, kurang maksimal sebagai seorang Amirah. Kira-kira begitu.

Tidak ada dua orang yang persis sama. Setiap kita punya peran spesifik di muka bumi ini. Versi terbaik Bunda Theresa dan Nelson Mandela berbeda. Versi terbaik saya dan Anda pun jelas berbeda. 

Saya mulai memikirkan kata-kata ini: Versi terbaik? Dirimu yang paling baik? Tak cukupkah jadi diri sendiri? Atau… apakah menjadi diri sendiri yang sebenarnya adalah dengan menjadikan diri pada versi terbaiknya? Bagaimana mengetahui sesuatu bahwa itu adalah versi terbaik kita?  

Di psikologi dikenal istilah transpersonal. Trans, melampaui. Personal, pribadi. Hartelius bersama rekannya Caplan dan Rardin melalui analisis retrospektifnya menjelaskan bahwa psikologi transpersonal telah bergerak dari penekanan pada kesadaran alternatif menjadi lebih luas yaitu pandangan tentang manusia yang utuh dan transformatif. Psikologi transpersonal adalah salah satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari bagaimana kita mampu melihat diri sendiri sebagai upaya mengenalinya secara utuh. Artinya, kita punya potensi mentransformasikan diri, kita mampu melihat diri kita dari luar. 

Kata Atticus Finch, dalam novel Go Set A Watchman yang ditulis Harper Lee, “… mudah untuk mengenang kembali siapa diri kita, kemarin, sepuluh tahun lalu, tapi sulit melihat siapa diri sekarang. Kalau kau bisa menguasai keahlian itu, kau akan baik-baik saja”. 

Sebagai upaya untuk tetap baik-baik saja, sebagai upaya untuk mulai belajar melihat diri sendiri dan berhenti merentangkan daftar perbandingan dengan banyak orang di luar diri sendiri, selanjutnya saya coba mengangkat atribut psikologi yang diperkenalkan oleh Kristian Neff, self-compassion. 

Self-compassion berbeda dengan self-esteem, self-efficacy, atau self-regulation—yang cenderung mengedepankan keunggulan diri atas perbandingan dengan orang lain. Self-compassion mengembangkan rasa cinta kasih terhadap diri sendiri juga orang lain.

Neff bersama rekannya, Vonk, melalui artikelnya berjudul Self-Compassion Versus Global Self-Esteem: Two Different Ways Of Relating to Oneself yang diterbitkan oleh Journal of Personality menjelaskan bahwa self-compassion sangat berhubungan dengan kematangan pribadi. Self-compassion bisa meningkatkan emotional coping skill, menjadikan kita tenang dalam berpikir dan bertindak. Ia melibatkan kebutuhan untuk mengelola kesehatan diri dan kesejahteraan. Ia memunculkan inisiatif untuk membuat perubahan dalam kehidupan dan yang paling penting, ia menumbuhkan empati dan kebijaksanaan. 

Menyayangi diri sendiri, bukan berarti memanjakan diri dengan selalu menuruti keinginan di dalam benak, tapi lebih pada bagaimana menanggapi diri dengan ramah, menyediakan penyangga saat terpapar kesulitan dan berpotensi membuatnya patah. Individu dengan self-compassion tidak mudah menyalahkan diri bila menghadapi kegagalan, ia justru daya gerak untuk memperbaiki kesalahan, mengubah perilaku yang kurang produktif dan menghadapi tantangan demi tantangan. Individu dengan self-compassion termotivasi melakukan sesuatu atas dorongan yang bersifat intrinsik, bukan karena berharap penerimaan dari lingkungan.

Neff memberikan definisi bahwa self-compassion adalah menghibur diri dan peduli—dan peduli—ketika diri sendiri mengalami penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan. Self-compassion terdiri dari tiga komponen yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness. 

Pertama, self-kindness berarti kemampuan untuk memahami dan menerima diri apa adanya, memberikan kelembutan dan memberi pengertian pada diri bahwa kita tidak bisa selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Kedua, common humanity, adalah pandangan bahwa apa yang kita alami juga dialami manusia umumnya, sehingga tidak membuat kita terisolasi pada masalah sendiri. Kegagalan dan keberhasilan adalah warna-warni yang harus menyertai perjuangan apapun dan siapapun dalam hidup. Ketiga, mindfulness, adalah menerima pikiran, perasaan, dan keadaan sebagaimana adanya, tanpa menekan, menyangkal atau menghakimi. 

Saya tidak menuliskan secara gamblang bagaimana menjadi versi diri yang terbaik. Namun, dengan menyusun ketiga komponen self-compassion pada diri, semoga bisa memandu kita menemukan versi terbaik diri kita masing-masing.

Saya jadi mengingat kalimat ini pada sebuah novel dan membuat saya terhenyak cukup lama saat membacanya: “Setelah berusia hampir lima belas miliar tahun, barulah alam semesta mendapatkan alat yang begitu fundamental seperti mata untuk melihat dirinya sendiri.” 

Kalimat tersebut adalah isi surat Jan Olav kepada putranya George dalam novel karya Jostein Gaarder berjudul The Orange Girl. Surat itu baru diterima George bertahun-tahun setelah ayahnya meninggal, saat George sedang tumbuh remaja. Maka, seperti semesta, kita pun butuh waktu untuk itu, untuk melihat diri sendiri dan menjadi bentuknya yang paling baik. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel