Kisah Anak Rantau dan Sejumlah Pertanyaan Rindu Kampung Halaman





“Rindu menciptakan, kampung halaman, tanpa alasan”
-Silampukau-

Tujuh tahun yang lalu, seorang petani muda dari sebuah dusun di Sulawesi Selatan meninggalkan desanya. Dia baru menikah beberapa bulan sebelumnya. Sayang, dia menikah di waktu yang salah. Harga komoditas andalan di desanya sedang jatuh.

Bagi petani berlahan lebih sehektar, itu bukan masalah. Tapi, bagi petani muda dengan lahan di bawah satu hektar sepertinya, dengan seorang istri dan orang tua yang butuh makan, hidup menjadi sangat sulit.  

Bersama istri-dia putuskan berangkat ke Malaysia untuk bekerja di perkebunan sawit. Meninggalkan rumah dan tanah di kampung juga ibunya yang berusia lanjut.

Di waktu yang sama, nyaris 90 kilometer dari tempat petani muda itu memulai perjalanan; seorang pelajar yang baru lulus SMA dari keluarga kelas menengah sedang berkemas.

Dia akan berangkat ke ibukota untuk melanjutkan pendidikan di sebuah kampus negeri. Dia dinyatakan lulus lewat jalur seleksi berkas pada jurusan yang menjadi impiannya.

Ini adalah pertama kalinya bagi si petani muda, dan si calon sarjana meninggalkan kampung. Mungkin itu alasannya, saat kedua anak muda itu tiba di tujuan masing-masing, muncul perasaan yang asing.

Orang-orang di sekitar mereka bicara dengan bahasa dan aksen tak dikenal, memunculkan rasa kesepian. Ingin pulang tapi sayang ongkos. Meski untuk urusan ini, si calon sarjana sedikit lebih beruntung.
*
PBB melaporkan di tahun 2015: 244 juta orang meninggalkan negaranya seperti si petani muda, dan 740 juta orang meninggalkan rumah dan pindah ke kota lain seperti si calon sarjana.  Jika ditotal, maka jumlah orang yang meninggalkan rumah mencapai satu miliar sejak penjajakan PBB dimulai 15 tahun sebelumnya.

Jumlah yang besar ini mendorong Margaret Stroebe, Henk Schut, dan Maaike Nauta untuk meninjau sejumlah literatur tentang fenomena meninggalkan rumah.  

Laporan itu, Homesickness: A Systematic Review of the Scientific Literature, diterbitkan oleh American Psychological Association di tahun yang sama dengan rilisnya laporan PBB.

Stroebe,  Schut, dan Nauta memilih homesickness (kondisi ketika individu terus memikirkan tempat tinggal asalnya) sebagai tema, dengan asumsi bahwa hal ini umumnya dirasakan oleh individu ketika meninggalkan lingkungan lama.

Mereka menduga proses adaptasi dengan lingkungan baru menyebabkan perubahan pada kondisi kesehatan mental dan fisik. Mereka meninjau 55 studi tentang HS (homesickness).

Ada studi pada pelajar remaja yang bersekolah di luar kota tempat tinggalnya, juga anak-anak yang dirawat di rumah sakit. Studi pada orang dewasa yang jadi personil militer, ekspatriat, hingga karyawan yang dimutasi.

Sejumlah studi lalu diperiksa metode pengukuran, prevalensi dan durasi, konsekuensi hingga pencegahan dan pengobatannya. Hal itu mengantar tiga peneliti ini pada sejumlah temuan penting.
*
Untuk gejala ditemukan kesamaan pada emosi (misalnya kerinduan dan kesepian), kognitif (misalnya pikiran yang terus mengingat orang-orang di rumah), sosial (misalnya, menarik diri dari orang-orang di lingkungan baru), sampai somatic (misalnya, penurunan berat badan).

Bahkan ada studi yang mengidentifikasi kemungkinan peningkatan gejala psikosomatik, serta risiko penyakit jantung koroner pada individu yang terpapar HS.

Mengenai metode pengukuran, setidaknya ada 11 alat ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat HS seseorang.

Beberapa faktor diidentifikasi, untuk memahami mengapa beberapa orang bisa terpapar HS sementara yang lain tidak. Sejumlah faktor: situasional seperti kondisi geografi, intrapersonal seperti kepribadian, dan interpersonal seperti pergaulan ditemukan dapat membuat individu rentan terpapar HS. Namun, ada kasus dimana individu telah mengantisipasi kemungkinan dirinya akan memikirkan rumah.

Kemungkinan durasi berpengaruh pada tingkat HS juga masih membuat tiga ahli ini kebingungan. Ada studi yang menemukan bahwa HS akan menurun intensinya seiring waktu. Sementara studi lain menemukan sebaliknya. Tidak ada pola yang jelas untuk temuan soal durasi.

Meski begitu, tinjauan ini berhasil mematahkan keyakinan awam bahwa perempuan lebih rentan mengalamai HS. Beberapa penelitian melaporkan prevalensi serupa di antara pria dan wanita, termasuk pada anak-anak

HS sendiri, sejauh temuan dari 55 studi, hanya ditemukan pada individu dengan mental yang bekerja secara pasif. Sehingga beberapa studi menawarkan intervensi lewat kegiatan mental yang aktif seperti menulis sampai beberapa minggu.
*
Lalu bagaimana kabar si petani muda dan calon sarjana kita?

Si petani muda sudah pulang ke Indonesia sejak dua tahun lalu. Dia sudah punya seorang anak perempuan. Selama di Malaysia, dia dan istrinya menabung setiap gajian dan hasilnya digunakan untuk membeli tanah seluas dua hektar di Sulawesi Utara.

Separuh tabungannya digunakan untuk memperbaiki rumah di kampung halaman, dan membeli seekor sapi yang sekarang dirawat oleh ibunya.

Petani muda itu sesungguhnya belum dapat dikatakan pulang. Kampungnya ada di provinsi yang berbeda. Namun dia merasa lebih lega karena tinggal di tempat yang terasa tidak asing. Ingin pulang juga tak perlu ongkos banyak.

Sementara calon sarjana kita belum sarjana setelah tujuh tahun berlalu. Dia selalu menyempatkan pulang tiap liburan atau hari raya. Meski dua tahun belakangan dia enggan pulang karena malas mendengar pertanyaan tertangga dan keluarga “Kapan sarjana, itu anaknya si anu sudah selesai?’.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel