Semua Orang Butuh Didengar
INDOPOSITIVE.org— Apa
yang kamu rasakan saat bertanya pada orang lain, dan ia mengabaikanmu atau
tidak menanggapi dengan serius? Kamu mungkin kesal. Tapi itu mungkin tak berlangsung
lama karena ia tidak penting dalam hidupmu.
Bagaimana
jika orang itu adalah yang kamu harapkan perhatiannya? Teman, sahabat, kekasih,
keluarga… . Kamu menceritakan masalahmu pada mereka. Tapi mereka mengabaikanmu.
Atau menyalahkanmu. Atau memberi nasihat yang, mungkin, tidak kamu butuhkan
saat itu.
Sekarang,
bayangkan skenario lain: kamu menceritakan masalahmu, dan pada titik tertentu,
mereka memotong ceritamu dengan cerita serupa yang pernah mereka alami: “iya, saya juga dulu begitu, dan… .” Cerita
itu berlanjut memaksamu duduk di posisi pendengar—saat kamu justru butuh
didengar. Bagaimana perasaanmu?
Cerita
di atas bukan rekaan. Setiap orang, mungkin, pernah mengalaminya. Dan, muara
dari pengalaman itu, kita tahu, adalah perasaan tertolak dan sakit hati. Apa
arti dari perasaan itu?
Ada situasi
dalam hidup ketika sesuatu perlu disuarakan, ketika pendapat dan perasaan kita
butuh pengakuan—dan satu-satunya suaka adalah telinga yang peka.
Semua
orang butuh didengar, tapi—huh!—tidak semua orang mau mendengarkan. Seseorang
bisa saja diam selama kamu menceritakan masalahmu. Tapi apakah itu bisa disebut
mendengarkan?
Mendengarkan
adalah proses yang aktif, kata Michael Nichols, seorang profesor psikologi. Ia
bilang—dalam bukunya, The Lost Art of
Listening—mendengar berarti memperhatikan, peduli, berminat, turut
merasakan, membenarkan, menanggapi, tersentuh… menghargai. Untuk mampu mendengarkan,
kita perlu melepaskan agenda pribadi, melupakan apa yang akan dikatakan
selanjutnya, dan fokus menyerap perkataan orang lain.
Didengar
membuat kita merasa utuh. Hal serupa dirasakan Kuroyanagi—aktris dan penulis
Jepang—saat ia berusia tujuh tahun dan memulai hari pertama sebagai siswi
sekolah dasar Tomoe Gakuen. Sosaku Kobayashi, kepala sekolahnya, mendengar
Totto-chan (nama kecil Kuroyanagi) berbicara selama empat jam!
Dia terus bicara tanpa henti. Kepala
sekolah mendengarkan, tertawa, mengangguk dan berkata, “lalu?”Dan Totto-chan
merasa senang sekali.
Belum pernah ada orang yang mau
mendengarkan dia sampai berjam-jam seperti kepala sekolah. Lebih dari itu,
kepala sekolah sama sekali tidak menguap dan tampak bosan. Dia selalu tampak
tertarik pada apa yang diceritakan Totto-chan, sama seperti Totto-chan sendiri.
Kuroyanagi
menulis itu dalam autobiografi, Totto-chan:
Gadis Cilik di Jendela, yang terbit pertama kali pada tahun 1981. Buku itu
membuat sejarah dalam industri penerbitan Jepang setelah terjual lebih dari
lima juta eksemplar sebelum akhir tahun 1982.
Didengar
membuat kita merasa dipahami dan diterima seperti kita memahami dan menerima
diri sendiri. Sebaliknya, kata Michael Nichols, tidak didengar membuat kita
merasa tertolak, kecewa, dan rendah diri.
“Bagaimanapun,”
tulis Kuroyanagi, “kepala sekolah membuatnya merasa aman, hangat, dan senang.
Ia ingin bersama kepala sekolah selama-lamanya.”
26
tahun setelah Kuroyanagi menerbitkan buku itu, di Indonesia, seorang selebtwit membikin pro-kontra di Twitter karena
mengunggah twit tentang jasa curhat miliknya. Komentar kontra: ia bukan
psikolog, bukan tenaga profesional. Sementara beberapa orang mengapresiasi kemampuan
si selebtwit melihat peluang bisnis.
Selebtwit
itu membuka layanan curhat bagi
mereka yang ingin kembali pada mantan pacar. Untuk satu balasan pesan lewat Line,
ia mematok harga sepuluh ribu rupiah. Proses curhat, hahaha, tidak mungkin
selesai dengan dua-tiga-empat-lima balasan pesan saja. Jadi, berapa harga yang mesti
dibayar klien sampai masalah seperti itu selesai?
Dua
hari setelah twit itu muncul, si selebtwit
mengunggah twit berisi foto percakapannya dengan seorang klien yang minta curhat
melalui telepon. Klien itu, waw, menyatakan sanggup membayar hingga dua juta
rupiah.
Mengapa
orang mau membayar setinggi itu untuk layanan curhat milik selebtwit? Mampukah
si selebtwit membawa kliennya pada satu pintu keluar—seperti yang dilakukan
psikolog dalam konseling? Atau, bisakah ia merasakan kondisi klien seperti
seorang teman baik merasakan kondisi temannya, seperti seorang sahabat baik merasakan
kondisi sahabatnya?
Suatu waktu, seseorang mungkin datang
padamu untuk menceritakan masalahnya. Bukan karena gratis, tapi karena ia percaya. Dengarlah. Mungkin
saja, telingamu yang penuh empatilah, satu-satunya harapan yang, perlahan, bisa
menyelamatkan hidupnya.