Dengan Membaca Ini, Mungkin Kamu Akan Mulai Menyukai Puisi!



“Paccolo-colo’ atie.”
Pappadecengnge de’ na tatteppa ri tana.”

Kalimat pertama adalah senjata Bapak ketika di tengah situasi yang kurang menyenangkan. Kalimat kedua adalah peluru ibu atas sikap baik yang ia upayakan setiap saat, kepada siapa dan di mana saja. Kedua kalimat berbahasa Bugis yang cukup puitis. “Senantiasa lunakkan hati!” dan “Perbuatan baik apapun itu tidak akan pernah salah jatuhnya”. Kurang lebih demikian terjemahannya bila di-bahasa-kan. Maknanya? Milik pembaca. Kedua makna kalimat tersebut pun terus membentuk jaring-jaring di dalam kepala saya dan tak pernah selesai.  

Mimi Doe bersama koleganya Marsha F. Walch melalui bukunya 10 Principles for Spiritual Parenting menyarankan orangtua bermain kalimat puitis dengan anak-anak. Misalnya, menyelipkan ungkapan rasa yang puitis kepada anak-anak di dalam bekal makanannya, di laci meja belajar, di meja makan, di kamar mandi, atau di mana pun lalu saksikanlah betapa ajaib respon anak-anak kita—keajaiban yang dimaksud itu mungkin yang juga menggenang dalam diri saya atas nasihat puitis Bapak dan Ibu. Syaratnya, tentu anak-anak harus sudah memiliki kemampuan membaca. Namun jika belum, bisa dibacakan atau bahkan dinyanyikan.

Mm... sebenarnya ada apa dengan puisi?

Puisi—yang dalam wujudnya sepintas tak selalu mudah dipahami—rupanya mengandung banyak keajaiban. Puisi telah menunjukkan keajaibannya sejak masih zaman primitif. Dalam ritual keagamaan misalnya, puisi dinyanyikan untuk kesejahteraan suku maupun individu. Di Mesir Kuno, kata-kata ditulis pada papirus kemudian dilarutkan dalam air untuk diminum sebagai penyembuh. Di Pennsylvania Hospital, menulis puisi dijadikan perawatan tambahan oleh dr. Benjamin Rush terhadap pasien-pasiennya yang kemudian diterbitkan dalam surat kabar mereka sendiri, The Illuminator.

Robert Lee Frost, salah satu penyair besar Amerika, menyatakan dalam gurauannya bahwa puisi adalah segala yang hilang dalam terjemahan. Prof. Henry Guntur Tarigan yang menulis buku Dasar-dasar Psikosastra pun menyampaikan hal serupa bahwa puisi adalah bahasa yang dipadatkan. Penyair tidak mengatakan kepada para pembaca “semua” yang ingin dikatakan tapi memancing pembaca menyeberang—masuk ke tingkat literal puisi dan menemukan maknanya yang lebih mendalam bagi diri mereka sendiri.

Maka mungkin atas dasar serupa, Rich Furman merangkum keajaiban puisi melalui pendekatan eksistensial dalam artikelnya yang diterbitkan dalam jurnal The Arts Psychotherapy di tahun 2003 bahwa puisi dapat memfasilitasi individu memahami dunianya. Melalui puisi, individu bisa menemukan perspektif baru terhadap segala jenis penderitaan yang dialami dan menemukan makna dari penderitaan tersebut. Dalam jurnal yang sama—terbit di tahun 1997—Arthur Lerner terlebih dahulu menjelaskan bahwa puisi dapat membangkitkan respon emosi yang tersembunyi dan membuat batas kesadaran bertambah luas karena berfokus pada penghayatan personal yang diperoleh individu. Namun, jauh sebelum itu semua, di tahun 1928, Eli Greifer memiliki hasrat lebih besar terhadap keajaiban puisi sebagai penyembuhan. Ia rela menyediakan waktu dan energinya seumur hidup untuk puisi dan dikenal sebagai orang pertama yang memunculkan istilah poetry therapy untuk berbagai proses penyembuhan di bidang psikologi.

Tak hanya itu, seorang dokter spesialis saraf di Indonesia, dr. Arman Yurisaldi Saleh mulai membangun jembatan antara puisi dengan dunia kedokteran. Tahun 2018 kemarin, ia menerbitkan buku Neuro-Poetry yang membahas potensi puisi untuk aplikasi klinis berbasis neuro-behavior dan evidence based medicine. Ia merincikan efek membaca puisi-puisi tertentu terhadap sebelas bagian otak yaitu prefrontal, pusat broca, pusat wernicke, hipokampus, cerebral cortex, limbik, pusat visuo-spatial, papez circuitry, pusat logika-matematika, serebelum, dan sirkuit reward. Keterkaitan puisi dengan aktivitas otak di bagian-bagian tersebut menegaskan keampuhan puisi terhadap berbagai gangguan psikologis serupa ide bunuh diri, depresi, kecemasan, stres pada pasien stadium terminal, stres pasca trauma, ketergantungan obat, hingga bahkan schizophrenia.

Masih banyak sekali penelitian tentang keajaiban puisi terhadap penyembuhan psikologis dan pertumbuhan pribadi individu untuk setiap jenjang usia, dari anak-anak hingga lansia. Namun, di Indonesia sendiri masih sulit ditemukan penelitian terkait. Setelah ini, apakah mungkin kamu akan mulai membaca buku puisi—yang seringkali diacuhkan di antara deretan buku-buku yang lain? Kamu tidak perlu khawatir! Rachel Naomi Remen pun yang semula terang-terangan membenci puisi, sebagaimana penuturannya yang dimuat dalam artikel San Francisco Medicine di tahun 2009, menjadi sangat jatuh cinta.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel