Ketahui Penyebab Rasa Malas Menurut Penelitian
INDOPOSITIVE.org—Apakah anda mengenal orang yang tidak ingin
bersosialisasi, tidak produktif dan kekurangan inisiatif? Atau kadang anda
menjadi orang itu? Mungkin kita dapat menyebutkan beberapa istilah untuk
kondisi tersebut. Namun salah satu yang paling dekat dan umum, sebut saja; malas.
Barangkali anda pernah mencoba mencari cara untuk mengatasi kemalasan. Akan
tetapi, mencari tahu mengapa kita menjadi malas menjadi sesuatu yang penting
namun tak sempat kita lakukan. Kali ini, kita bisa melihat malas menjadi
sesuatu yang melelahkan atau mengapa malas mampu terjadi di kehidupan sehari-hari
kita.
Malas seringkali dikaitkan dengan
perilaku prokrastinasi hingga apatis ekstrim. Namun secara sederhana, malas
adalah sebuah proses pengambilan keputusan untuk tidak melakukan usaha apa pun.
Dalam psikologi hal ini dapat dikategorikan ke dalam behavioral apathy atau
perilaku apatis. Dalam kondisi patologis hal ini dapat membuat seseorang menuju
penyakit mental yang merujuk pada attention-deficit disorder (ADD)
hingga depresi. Seseorang yang berada
dalam kondisi ini dapat menemui kerugian personal, sosial maupun ekonomi.
Tentu saja terdapat banyak faktor
yang dapat menjadi mengapa kondisi ini dapat terjadi. Namun dalam salah satu
penelitian di bidang neurology and cognitive neuroscience. Malas
berkaitan erat dengan motivasi dan reward, dan ternyata hal ini memang
berkaitan dengan faktor biologis dalam tubuh seseorang. Sebuah studi yang
dilakukan Masud Husain dari Oxford University. Penelitian ini melibatkan 40 sukarelawan, mereka mengisi
kuesioner motivasi untuk melihat
tingkatan motivasi mereka, lalu kemudian diminta bermain game yang melibatkan
variasi tingkat usaha yang berbeda dan reward yang berbeda, dan kemudian scan
MRI dilakukan pada tiap partisipan. Dari hasil tersebut para peneliti menemukan
beberapa hal menarik yang dapat menjadi pelajaran penting bagi kita.
Para peneliti menjelaskan bahwa secara
umum, ditemukan bahwa reward tinggi dengan usaha kecil paling banyak digemari,
sedangkan reward rendah dengan usaha besar paling dihindari. Namun yang menarik
adalah, bahwa ketika peneliti menduga kinerja otak mereka yang memiliki
motivasi rendah tidak aktif ketika merespon usaha yang besar, yang terjadi adalah kebalikannya. Mereka yang
memiliki kecendurangan apatis memiliki kinerja otak yang lebih besar, bagian pre-motor
cortex yang berhubungan dengan tindakan, terlihat lebih aktif. Hal ini
diduga terjadi karena struktur otak yang tidak efisien mengakibatkan seseorang
dengan kecenderungan apatis membutuhkan usaha yang lebih besar untuk mewujudkan
keinginan dalam bentuk tindakan.
Ketika sebuah tindakan yang
membutuhkan perencanaan yang cukup kompleks dilakukan, maka seseorang dengan
kecenderungan apatis membutuhkan energi yang lebih keras dalam mewujudkan aksi
yang nyata dikarenakan kondisi biologis mereka. Sekiranya dengan memahami cara
kerja biologis tersebut, kita mulai melawan rasa kemalasan atau mencari cara
mengatasi rasa malas. Semoga kita dapat terus menelusuri segala sumber
kemalasan yang rajin menghampiri.