Bencana Alam dalam Kardus Mie Instant
INDOPOSITIVE.org—Lagertha
berjongkok. Dicabuti beberapa rumput di tanah yang dijanjikan di Wessex. Bangsa
Vikings menyambut gembira tanah yang dijanjikan di Wessex. Akhirnya, tanah yang
dijanjikan itu diberikan oleh King Alfred.
“Ragnar, apakah kau melihat ini?”
“Apakah kau melihat ini? Ini impian kita.”
Adegan diatas merupakan tayangan sebuah film series
berjudul Vikings. Seorang Ragnar Lothbrok menumbuh-kembangkan impian kepada
bangsa Vikings untuk hidup lebih makmur. Mereka yang selama ini hidup dengan
haus darah dan menjarah. Kini, menanam impian baru di sebuah tanah, dunia baru.
Dunia yang merupakan perdamaian antara dewa Vikings dan Tuhan kerajaan Wessex
diwujudkan dalam bentuk tanah.
Menyaksikan
film Vikings, kita tidak menyangka tanah merupakan hal krusial dalam peradaban
dan kebudayaan manusia. Hidup di kota yang setiap harinya kelilingi oleh
bangunan semen. Jarang sekali memandang tanah. Kalaupun melihat tanah, harus
berpergian agak jauh menuju ke pedesaan. Saya bisa melihat sawah dan kebun.
Serta rumah yang memiliki halaman rumah yang belum tertutupi oleh semen.
Halaman rumah itu penuh dengan berbagai tanaman. Kita
bisa melihat pohon mangga dan ranting penuh dengan buah yang bergelantungan. Buah
pisang menjulur di batang pohon. Bunga asoka merah merona bermekaran. Tanaman
kumis kucing, serai, dan beberapa tanaman obat yang berdiri tumbuh di tanah
halaman rumah. Menyaksikan ini, kita akan bergumam, bagaimana mungkin tanah di
halaman rumah mendatangkan keajaiban luar biasa.
Keajaiban-keajaiban tanah di halaman rumah terus
berlanjut sampai ke beberapa wilayah lokasi bencana alam. Di Lombok Utara, saya
melihat peristiwa alam gempa bumi. Selama 10 hari, pemandangan bangunan roboh,
tanah retak, dan sesekali gempa susulan adalah hal jamak yang bisa ditemukan.
Di mana juga manusia panik dan tidak memiliki harapan juga bertebaran di
tenda-tenda pengungsian.
Saya masih ingat bagaimana area persawahan retak. Beberapa
tenda pengungsi didirikan di atas padi yang sudah mulai mati terinjak-injak.
Beberapa kebun tanamannya rubuh. Bahkan ada yang terguling-guling masuk jurang
menuju ke sungai. Tidak ada lagi, tanah halaman rumah yang bisa menampung
tanaman buat manusia pada saat itu.
Pada saat itu, berbondong-bondong bantuan datang mengalir
membantu Lombok. Mie instan, susu formula, sampai beras datang menolong. Dia
didatangkan dari helikopter, kapal laut, bahkan lewat truk-truk yang jumlah
banyak menempuh jarak yang sangat jauh. Disalurkan untuk mereka, untuk Lombok.
Ribuan manusia bersukarela menghabiskan waktu. Baik yang berlama-lama maupun
yang hanya waktu singkat, menerjang Lombok, tanpa menimbang rasa takut terkena
dampak susulan di arena bencana alam.
Lain cerita di Palu. Saat peristiwa alam tsunami, gempa
bumi, dan likuifaksi menghancurkan masyarakat. Berbondong-bondong, manusia yang
bermukim di sana, hanya punya satu harapan. Meninggalkan Palu sesegera dan
secepat mungkin. Dalam sekejap kota itu menjadi kota mati. Di sosial media,
berhamburan kabar penjarahan. Manusia yang sudah kehilangan kesadaran.
Beberapa yang memilih untuk tetap bermukim di
tanahnya, di rumahnya. Menjaga harapan bahwa tanah mereka, tempat mereka tumbuh
besar akan menjadi tanah yang subur kembali. Yang bertahan, menjaga. Adapun
yang datang, bukan bagian dari tanah yang luluh lantah, mereka bagian dari
kemanusiaan. Datang berbondong-bondong. Dari segala penjuru mata angin,
membantu Palu untuk bangkit.
Yang tidak datang langsung. Mereka menggotong tanggung
jawab menyuplai bahan bantuan. Mie instan berkardus-kardus, bertruk-truk tumpah
ruah di sana. Pakaian, selimut, tenda-tenda berjejeran. Mereka datang bak keran
air yang terbuka. Dari komunitas mahasiswa, masyarakat umum, sampai organisasi
pemerintahan.
Di Gowa, saat tanah longsor melanda di beberapa
kawasan. Saya juga melihat rasa peduli yang sama layaknya di Lombok dan Palu.
Pemandangannya sama, situasinya tidak jauh beda, dan bagaimana cara kerja dan
mengapa perulangan jenis bantuan itu mengalir. Maksud saya, kita selalu
mengirimkan bantuan produk bertahan hidup orang kota. Mengabaikan produk dari
halaman desa jauh lebih baik daripada produk instan dari perkotaan.
Selama 7 hari, saya bersama teman menuju ke Gowa.
Tepatnya di Tassese. Dua hari satu malam di sana, kami naik menuju ke Sapaya.
Kurang lebih dua hari satu malam, bermalam di sebuah masjid. Setelah itu,
mendaki menuju ke Mangempang. Terakhir, menempuh jarak 20 km, membuka daerah
terisolir di atas gunung, Datara. Saya terkesan bosan melihat dos-dos mie
instant memenuhi pojokan dapur selama 3 hari dua malam.
Orang tua yang mengeluh naik tekanan darah sebab
mengonsumsi mie instant. Anak-anak kecil tidak ada yang tidak batuk. Kedua
tonsil mereka merah radang. Sulit menelan. Mereka katakan bahwa belakangan
memakan mie instant. Anak bawah tiga tahun sambil mengelap ingus, tidak pakai
baju, membawa ke mana-mana, mangkok berisi mie instant di tangan kanan,
menggenggam botol sirup obat batuk di tangan kiri. Setelah bekerja, kami para
relawan menghabiskan rasa lapar dengan mie instant. Seluruh desa Datara susah
mengeluarkan air besar sebab usus kami penuh dengan mie instant.
Di kepala para donatur, mie instant sudah memenangkan
pikiran mereka. Jika kau ingin bertahan hidup, ada sebuah bungkusan mie instant
siap mengganjal perutmu. Itu muncul di televisi. Di hamparan iklan surat kabar.
Mungkin juga tersiar di radio. Sudah puluhan tahun, mie instant menjadi
penopang manusia kota untuk bisa bertahan hidup. Baik di saat dompet tipis
ataupun gaji sudah cair. Bahkan, untuk memutuskan hidup hemat, mie instant
adalah solusi jitu.
Mie instant mengalahkan ikan kaleng, daging kaleng,
abon-abon, dan ikan asin. Bahkan, kata seorang teman bahwa mie instant tidak
repot untuk dibuat. Tinggal menyediakan mangkok dan air panas. Buka bungkusan
mie instant. Tidak ketinggalan mencampurkan bumbu. Dia siap disantap, bisa atau
tanpa, sepiring nasi. Berbeda dengan pangan lainnya membutuhkan nasi. Tapi
kalau dari penyajian, setiap pangan bisa diadu, dalam efisien dan efektif
penyajian. Mie instant bak pasukan yang siap membantu kapanpun
kalian membutuhkan. Tentunya, perlu mengeluarkan uang untuk membeli.
Tapi di Datara, saya melihat cara bertahan hidup yang
alami. Yang tidak perlu pangan instant. Pangan-pangan yang berasal dari tanah
halaman rumah. Selama 10 hari, sejak peristiwa alam tanah longsor terjadi.
Masyarakat desa Datara bertahan hidup dengan memakan nasi dari sawah sendiri,
memasak rebung dari kebun mereka, dan menumis labu siam. Tentu saja, tidak
ketinggalan mie instant.
Selama 10 hari mereka melakukan itu. Dan seorang teman
mengeluarkan kantong plastik. Di dalamnya pisang, gula merah, daun pandan, dan
kelapa santan. Iya, pangan yang berasal dari halaman rumah. Bisa disulap dan
diolah tidak kalah praktis dari mie instan untuk menjadi kolak. Dimakan
beramai-ramai sambil berkelar apa yang akan terjadi setelah peristiwa alam ini
berakhir.
Tuan, di mata mereka, kota adalah perbandingan dari
desa. Kemajuan di kota, sementara tertinggal di desa. Tidak jarang orang-orang
di desa merasa inferior. Tertinggal dan butuh pertolongan. Seolah semua yang
terjadi di desa adalah sebuah kesalahan salah atur. Tuan, tidak tahu. Kalau di
piring-piring santap. Di sanalah, subsidi desa untuk kota. Jadi, tuan tolong
bantu cari cara agar kami tidak menyantap pangan instant buatan kota. Kirimkan
saja produk-produk halaman rumah untuk kami bertahan hidup dan juga menanam
kembali.