Merumuskan Penanganan Psikologis Pasca Bencana


INDOPOSITIVE.orgKrakatoa: The Last Days merupakan sebuah dokumenter drama BBC yang disutradarai oleh Sam Miller dan dibuat berdasarkan catatan saksi mata pada letusan Krakatau pada tahun 1883. Letusan itu memberi dampak yang begitu besar. 20 juta ton belerang dilepas ke atmosfer yang mempengaruhi pandangan dan suhu yang ada. Dalam 40 jam, gunung Krakatau hampir tak tersisa sama sekali. Letusan itu benar-benar meledakkan segalanya. Ahli Geologi bernama berkebangsaan Belanda, Rogier Verbeek mengumpulkan berbagai catatan, kesaksian dan wawancara orang yang selamat dan menyusun sebuah buku yang berjudul Krakatoa. Dari buku itu juga, Sam Miller menyusun film drama dokumenter tersebut di tahun 2006. 

Gunung baru akan terbentuk dengan kecepatan 5 meter per tahun. Kita menyebutnya anak Krakatau dan gunung itu terus bertumbuh hingga sekarang memperlihatkan dampak yang mulai mencemaskan. Meletusnya Gunung Krakatau yang juga disusul Tsunami pada 26 Agustus 1883 merupakan bencana terbesar sepanjang sejarah.  Bencana yang mengakibatkan hancurnya ratusan kota dan desa, serta menewaskan 36 ribu orang dalam kurun waktu yang begitu singkat.

Dari karya Sam Miller itu, kita bisa belajar tentang kemungkinan berulangnya bencana luar biasa itu. Bahkan, pemerintah sekiranya serius untuk menangani masalah tersebut sedini mungkin. Belum lagi dengan kejadian yang baru-baru ini terjadi. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama tahun 2018 dari Januari hingga bulan Oktober, tercatat telah terjadi 1.999 kejadian bencana di Indonesia. Jumlah ini tentu bertambah mengingat beberapa bencana yang terjadi di akhir tahun. Dampak dari rangkaian bencana tersebut menimbulkan masalah yang amat besar. Sedikitnya 3.548 orang meninggal dunia dan hilang, 13.112 orang luka-luka, 3,06 juta jiwa mengungsi dan terdampak bencana, 339.969 rumah rusak berat, 7.810 rumah rusak sedang, 20.608 rumah rusak ringan, dan ribuan fasilitas umum rusak.Indonesia adalah negara rawan bencana, hal itu pun dapat terlihat dalam sejarah.

Dampak kehilangan tersebut tentu saja akan mengguncang psikologis korban yang masih selamat. Hanya saja, sejauh ini pemerintah belum memberikan prioritas terhadap penangan psikologis pada korban bencana. Sudah sepantasnya kita memberikan perhatian khusys serta mempersiapkan diri, khususnya dengan masalah psikologis. Selama ini kita cenderung berfokus pada masalah fisik atau sesuatu yang tampak, lalu mengabaikan masalah psikologis para korban. Mereka yang bermasalah dengan psikologisnya secara tidak langsung mengalami trauma berkepanjangan dan post-traumatic stress disorder (PTSD).

Kita bisa belajar dari berbagai penanganan bencana di beberapa negara yang juga mengedepankan masalah psikologis. Badai Katrina misalnya. Berbagai intervensi psikologis dilakukan dalam menangani atau mengurangi masalah psikologis yang terjadi, mulai dari masalah anak-anak, orang dewasa hingga menyentuh pada ranah keluarga. Berbagai temuan itu kemudian dikumpulkan dan menjadi sebuah buku yang diberi judul, Helping Families and CommunitiesRecover From Disaster. Salah satu hal yang dapat dilakukan setelah bencana adalah psychological first aid (PFA). Sebuah langkah untuk mengurangi efek buruk dan mencegah timbulnya gangguan mental menjadi lebih parah yang ditimbulkan dari situasi sulit seperti bencana alam.

Beberapa penanganan psikologis seperti terapi bermain untuk anak dan konseling bagi orang dewasa penting untuk dilakukan. Tentunya, merumuskan penanganan psikologis pasca bencana sudah menjadi hal yang mesti dipikirkan secara matang. Berbagai penanganan psikologis yang dilakukan sekiranya mampu menumbuhkan semangat atau membangun resiliensi yang ada dalam komunitas. Meskipun telah terpuruk dengan bencana, tapi dengan memberikan penanganan yang tepat hal itu dapat diatasi sebaik mungkin.

Berdasarkan catatan sejarah, Indonesia tak lepas dari berbagai bencana yang ada. Belum lagi, di akhir tahun 2018, BNPB merilis prediksinya terkait Indonesia yang akan dipenuhi dengan berbagai bencana di tahun 2019. Mulai dari bencana hidrometeorologi hingga geologi akan melanda bangsa Indonesia. Setelah terjadinya bencana, selain pemenuhan kebutuhan fisik yang selama ini dilakukan, sudah saatnya kebutuhan psikologis ditingkatkan. Berbagai gangguan psikologis yang dialami para korban diantaranya rasa sedih akibat kehilangan keluarga, harta benda, rumah, mata pencaharian, dan suanasa asing di tempat pengungsian dapat berakibat fatal.

Sekiranya kita dapat belajar lebih siaga terhadap bencana. Belajar dari Jepang yang memiliki strategi khusus terhadap bencana, tentu saja Indonesia pun dapat melakukan hal yang serupa. Strategi yang dilakukan telah merambah pada dunia pendidikan. Berbagai kebijakan diterapkan sebagai bentuk antisipasi atas munculnya bencana gempa yang mengancam. Usaha preventif hingga pasca bencana dijalankan dengan baik dan sistematis.

Menyedihkan rasanya, ketika kabar dari para peneliti asing yang sebenarnya telah memberikan prediksi Tsunami Selat Sunda yang baru-baru ini terjadi tidak ditelaah dengan baik. Bahkan lebih tepatnya diabaikan begitu saja. Raphael Paris dari Université Clermont Auvergne di Prancis bersama Budianto Ontowirjo dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pernah menuliskan masalah ini dalam makalah ilmiah di tahun 2012. Celakanya, pemerintah begitu pandai mengacuhkan temuan ilmiah. Kebiasaan pemerintah yang satu ini sebenarnya lebih berbahaya dari bencana alam.



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel