Bagaimana Tubuh Kita Bereaksi Ketika Merasakan Cinta?



INDOPOSITIVE.org Cinta menjadi topik abadi sepanjang masa. Mitologi, drama, nyanyian dan puisi banyak berbicara cinta, dan dalam psikologi sendiri telah banyak  penelitian mengenai cinta. Misalnya yang mengaitkannya dengan kelekatan, intimasi, kepedulian, passion atau compassionate love. Atau yang terkenal seperti Triangular Theory of Love, Robert Stenberg dan The Color Wheel Model of Love, John Lee. Kesemuanya itu adalah produk dari perasaan cinta.

Cinta merupakan sebuah emosi positif yang dapat tumbuh di dalam hubungan. Barbara Fredrickson dalam salah satu bukunya berjudul Love 2.0 membuka pembahasan dengan menjelaskan bahwa cinta adalah sesuatu yang dirindukan oleh setiap manusia. Penemu The Broaden-and-Build Theory ini tidak menapik lagi bahwa cinta memang adalah emosi positif yang dapat menumbuhkan kehidupan manusia. Ia mengatakan “Cinta, ternyata, dibutuhkan oleh tubuh sebagaimana  sinar matahari, tanah yang kaya nutrisi, dan air memberikan keseimbangan yang tepat dan memungkinkan tanaman untuk berkembang. Semakin sering anda merasakan pengalaman cinta, semakin anda terbuka dan tumbuh, menjadi lebih bijaksana dan lebih selaras, lebih tangguh dan efektif, lebih bahagia dan sehat. Anda juga tumbuh secara rohani, lebih mampu melihat, merasakan, dan menghargai interkoneksi yang dalam yang secara tak terelakkan mengikat anda dengan orang lain, yang menancapkan anda di dalam tatanan kehidupan yang agung.” 

Fredrickons juga mengutarakan, bahwa  terlepas dari segala pemahaman yang telah kita ketahui mengenai cinta, tubuh kita memiliki makna sendiri terhadap cinta, yakni “Love is that micro moment of warmth and connection that you share with another living being.” Cinta lebih luas maknanya dibanding  kegembiraan, harapan atau syukur. Cinta adalah emosi supreme atau emosi tertinggi yang dapat membuat kita merasa utuh menjadi manusia yang membuat hidup penuh makna.

Seringkali banyak yang mengartikan perasaan cinta sebagai gairah dan nafsu. Namun ternyata, jika kita memahami dengan lebih luas, cinta adalah hubungan emosional. Sains menemukan bahwa saat gairah membangkitkan fungsi otak yang sama saat ketika kita merasakan motivasi atau  hadiah, perasaan ketika mencintai justru berhubungan dengan bagian otak pada fungsi empati dan kepedulian. 

Uri Hasson seorang peneliti dari Universitas Princeton melakukan penelitian bersama tim penelitinya dan menemukan bahwa terdapat resonansi seimbang yang terjadi diantara orang-orang yang saling berbagi pengalaman positif. Setelah melakukan scan otak fMRI ia menemukan bahwa berbagi emosi positif dengan orang lain akan membuat efek fisikal yang nyata di dalam otak. Sehingga pemahaman emosional dan perasaan empati dapat membuat kita melibatkan orang di lingkaran kita merasakan bahwa mereka adalah bagian besar dalam hidup kita, bahwa mereka berarti dan vice versa. Maka tepatlah ketika Lao Tzu mengatakan “being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage”. Kepedulian dan empati membuat kita mampu memberi kita kekuatan dan berbuat lebih gigih.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel