Apakah Kita Bersyukur atau Berterimakasih?



Di sebuah perjalanan dari kota kecil menuju desa, seorang perempuan duduk tepat di sisi kaca bus. Ia ingin menggeser kaca untuk menikmati udara pagi yang segar, setelah berusaha ia ternyata tidak bisa menggeser kaca tersebut. Seorang kurir barang yang duduk di depan melihatnya dan membantunya. Kaca terbuka dan angin ringan berhembus ke dalam bus. Perempuan itu mengucapkan terimakasih kepada si kurir barang.





Selama perjalanan menuju desa, si perempuan mengamati pohon-pohon yang tinggi menjulang, semak-semak rimbun, padang rumput luas dan sawah terhampar jauh ke gunung. Ia sangat mengagumi pemandangan tersebut. 



Beberapa jam kemudian ia tiba di desa. Perempuan tua dengan rambut putih menyunggingkan senyum lebar. Ia menyambut cucunya, memeluknya dan mengantarnya masuk ke rumah. Di ruang tengah telah tersedia hidangan lezat. Kue kukus yang terbungkus daun pisang, hingga makan siang dengan lauk yang beragam. Ia memeluk neneknya, mengucapkan terimakasih dan perasaan damai di dalam dirinya membendung syukur yang amat dalam.



Tentu, manusia merupakan mahluk yang sangat kompleks. Mereka merasakan, mengalami dan melakukan berbagai hal yang kadang tidak mudah untuk diterjemahkan. Cerita diatas merupakan kilas bagi kita untuk melihat syukur bekerja. Bagaimana syukur hadir dalam bentuk emosi, bagaimana syukur hadir sebagai bentuk ekspresi.



Lalu bagaimana sebenarnya perbedaan antara syukur dan berterimakasih? Sederhananya, syukur merupakan respon emosional terhadap pemberian, sebuah penghargaan seseorang sebab telah menjadi penerima dari tindakan altruistik orang lain atau hal diluar dari dirinya. Berterimakasih, merupakan bentuk pengungkapan syukur. Namun dalam pengalamannya syukur memiliki kekuatan yang tidak hanya sebatas pada mengucapkan kata “terimakasih” atau mengucapkan “Alhamdulillah.” (bagi kaum muslim).






Syukur telah dikaji dalam sains, khususnya dalam ranah sosial dan psikologi. Pada tahun 2001, Michael E. McCullough dan kawan-kawan menerbitkan sebuah jurnal penelitian yang dimuat dalam Buletin Psikologi, American Psychological Association. Mereka menemukan bahwa syukur merupakan sebuah afek moral. Hal tersebut membuat syukur memiliki peran sebagaimana empati dan simpati, juga malu dan perasaan bersalah. 

Empati dan simpati terjadi ketika seseorang berada pada kondisi merasakan dan merespon perasaan sulit yang dialami oranglain, rasa bersalah dan malu terjadi ketika seseorang tidak berhasil mewujudkan suatu standar moral atau memenuhi kewajiban, syukur terjadi ketika seseorang merespon suatu perilaku prososial dari pihak lain.



Dalam penelitian tersebut juga ditemukan bahwa, syukur sebagai afek moral memberi tiga fungsi utama. Pertama, syukur dapat menjadi moral barometer. Yakni suatu perubahan dalam hubungan sosial seseorang, yang ditandai dengan meningkatnya kesejahteraan hidup  seseorang karena kehadiran agen moral lainnya, dalam hal ini pemberi. 

Yang kedua adalah, sebagai motif moral, seseorang yang telah mendapatkan pertolongan atau bantuan dari orang lain untuk melakukan hal yang sama, baik kepada orang yang telah membantunya maupun kepada orang lain. Ketiga, mengekspresikan syukur juga memberikan efek penguatan kepada pemberi agar tetap melakukan perilaku baik kedepannya.






Hal yang penting untuk kita ingat bahwa bersyukur merupakan sebuah proses penalaran reflektif yang harus disadari. Menyadari bahwa kita telah menjadi penerima kebaikan dari pihak lain, dan karena hal tersebut, kita mesti turut mengapresiasinya.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel