Sebuah Rumus untuk Bahagia

Secara harfiah, ada rumus untuk kebahagiaan—yang diciptakan para ilmuwan.

Sebuah Rumus untuk BahagiaOrang yang mampu berpikiran positif lebih bahagia, tenang, dan siap menatap masa depan. | Thinkstockphoto
Apa yang membuat seseorang bahagia? Atau, bagaimana mengukur (mendefinisi) kebahagiaan seseorang?

Sekelompok ilmuwan di London mencari tahu jawaban atas pertanyaan tersebut. Menjadikan kebahagiaan tujuan, misalnya, sering memiliki konsekuensi kontra-produktif yang pada akhirnya menyebabkan kurang bahagia secara keseluruhan. Bagi banyak orang, menemukan kebahagiaan adalah mirip dengan proses pencarian air: ketika kita menemukannya, kita kehilangan penjelasan bagaimana hal itu terjadi.

Membuat rumus kebahagiaan
Berupaya untuk selangkah lebih maju memahami teka-teki kebahagiaan, kelompok ilmuwan ini baru saja menyusun rumus atau formula matematika yang dinilai mampu memprediksi peringkat kebahagiaan orang dari waktu ke waktu. Penelitian mereka diterbitkan di jurnal PNAS.

Rumus itu menggambarkan bagaimana kita menanggapi imbalan (reward). Penggambaran menunjukkan orang merasa bahagia saat mereka mendapat imbalan sesaat, dan bahwa pengaruh imbalan semacam ini dengan cepat meluruh seiring waktu.
rumus kebahagiaanInilah rumus kebahagiaan. (Sumber: Rutledge et al/PNAS)
Oleh ilmuwan rumus diujicobakan pada 18.000 partisipan, dalam aplikasi game di ponsel pintar yang disebut "What makes me happy?".

Pada waktu uji coba subyek diberi tugas mengambil keputusan, mereka harus membuat pilihan menang atau kalah dengan melibatkan pertaruhan (hadiah) uang, lalu ditanyai mengenai kebahagiaan. Sementara setiap saat aktivitas saraf di otak mereka dimonitor pula menggunakan MRI fungsional. Dari situ, model komputasi menghubungkan kebahagiaan atas imbalan yang sudah tercapai dan ekspektasi yang terbentuk.

Hasilnya? Penghitungan tersebut dapat memprediksi secara akurat kebahagiaan orang-orang yang bermain game.

Meski demikian, yang lebih penting dari penemuan ini tidak saja cara prediksi kebahagiaan — melainkan ada kaitan antara harapan orang dengan imbalan yang diterima, dan ini yang menjadi satu faktor penentu kebahagiaan. Kebahagiaan tidak bisa terjadi saat ekspektasi melampaui perolehan imbalan.

Para pelaku studi ini pada saran/kesimpulan menulis, temuan ini mengungkap: "Kebahagiaan merefleksikan bukan tentang keadaan berjalan baik. Namun bilamana situasi lebih baik daripada yang diharapkan, itu adalah kebahagiaan."

Apakah kebahagiaan hanya hasil dari harapan perseorangan yang dikelola dengan baik? Tentu tidak. Bagaimana pun, studi ini menunjukkan itu sebagai salah satu faktor pentingnya.

*(Gloria Samantha. Sumber: The Conversation)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel