Dalam Kesederhanaan Kita Belajar Memperkaya Batin



“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?” (QS. 55:55)

Setiap persinggahan dalam perjalanan panjang di hidup ini selalu melahirkan berbagai kisah, berbagai cerita dengan berjuta hikmah yang menggetarkan hati-hati yang tenang.
Sepuluh hari di Desa Benteng, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros saat waktu terasa berjalan sangat pelan. Seperti gerakan daun gugur dari pohonnya di tengah hutan yang lebat, berguling-guling di udara, berputar menentramkan hingga menyentuh tanah dengan sangat santun.

Setiap pagi, jendela kayu belakang rumah menjadi layar pemandangan alam yang maha dahsyat. Gunung-gunung hijau memamerkan keperkasaan Tuhan. Kabut tipis menjalar di pepucuk pepohonan ke barat dengan keanggunan tiada tara bersiap-siap menyambut Sang Mentari menghangatkan bumi beku manusianya. Langitnya, akh jangan ditanya, birunya sangat bening sebening jiwa-jiwa perawan suci.

Alam raya ini memang paling sempurna membuat jatuh hati. Mempesona secara alami dari dalam nurani. Sejak di tengah perjalanan pun, saat memasuki wilayah Desa Benteng, di Dusun Lappatalle pohon-pohon kemiri berdiri tegak bak pelayan profesional menyambut semua pejalan. Batangnya seperti betis-betis mulus gadis belia yang berdiri lebih anggun. Salah satu surga Indonesia yang tersembunyi.

Akhirnya, surga itu pun ditemukan oleh sekumpulan pemuda-pemuda harapan, pemuda penuh semangat, dan pecinta negeri ini. Beberapa pemuda dari berbagai sumur ilmu di Pulau Jawa dan puluhan pemuda lainnya dari sebuah panggung pendidikan di Kota Makassar yang selama ini tak terbaca dunia. Mereka bergelar mahasiswa. Mereka orang-orang yang mencari jati diri mahasiswa yang sebenarnya, mahasiswa sejati. Mereka yang penuh tanggung jawab atas amanah yang terus memenuhi pundaknya, atas amanah yang telah merajai hatinya. Amanah itu adalah Tri Darma Perguruan Tinggi. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Aku menyebut mereka sebagai mahasiswa yang tahu diri.

Segala gemerlap perkotaan ditanggalkan sementara waktu. Mereka rela memilih kehidupan yang serba terbatas. Merasakan nuansa kehidupan orang lain yang jauh berbeda dari yang selama ini mereka rasakan. Jalur transportasi yang memacu adrenalin, berkelok-kelok, naik turun pegunungan, penuh bebatuan dan licin tepat di tengah hutan tak menyurutkan setiap semangat yang bertiup di jiwa-jiwa mereka. Pancaran signal yang sulit ditemukan serta listrik yang hanya mengandalkan tenaga surya dan gengset yang terbatas penggunaannya membuat waktu berjalan sangat pelan. Keadilan Tuhan kini menggeliat lagi. Sumber air dari mata air pegunungan menyiram segala keterbatasan itu.

Mereka adalah pemuda-pemuda yang bangkit dari permainan pena di atas kertas yang coba dipindahkan di daerah pegunungan Maros. Mereka menulis dengan nyata, langsung di atas bumi Bulusaraung, tidak lagi sebatas tulisan di atas kertas. Mengeksplor segala potensi alam dan manusianya sambil memperkenalkan teknologi inovatif dengan maksud menunaikan tiga amanah tertulis itu. Bola Macca[1] adalah salah satu karya nyata berupa pondok belajar untuk anak-anak desa di sekitar yang punya lorong mimpi untuk mengajari anak-anak desa akan arti sebuah harapan, kekuatan sebuah impian, dan hembusan semangat dari sebuah cita-cita tulus. Selanjutnya, POBEM adalah karya berupa pembuatan pupuk organik dari sisa-sisa zat yang tak terpakai. Mereka mengolahnya sedemikian rupa untuk dimanfaatkan masyarakat Benteng nantinya. Agroforestry adalah karya ilmiah yang memberikan panduan kepada masyarakat mengenai usaha tani terpadu. Juga ada kerajinan dari tempurung kemiri yang menjadi ciri khas Desa Benteng sebagai penghasil kemiri dengan teknik mozaik seperti mengilustrasikan mozaik-mozaik pemuda Indonesia yang tengah berkumpul di Desa Benteng, pelatihan pembuatan minyak kemiri dan briket dari ampas dan arang tempurung kemiri sebagai pengganti arang kayu. Dua karya lainnya adalah kompor ramah lingkungan dengan konsep gasifikasi Up-Draft dan program IC3 untuk memancing minat wirausaha masyarakat setempat.

Desa benteng sungguh mampu merangsang kreativitas para pemuda. Nalar ngajar yang terinspirasi dari Indonesia Mengajar dan Nalar ngaji pun turut dibingkai sebagai bentuk pengabdian masyarakat para mahasiswa yang bernaung dalam lembaga penelitian Penalaran terhadap anak-anak polos yang ada di sana yang kekurangan tenaga pengajar. Anak-anaknya ramah dan terbuka, para orang tuanya peduli dan penuh antusiasme, pemuda-pemudinya sangat solid. Setiap sore hingga larut malam mereka berkumpul bersama bermain musik dan sebagainya. 

Nuansa pedesaan yang sangat kental dengan interaksi sosial antar tetangga yang cukup intens menjadi hal yang sangat hangat selama berada di sana. Aku pun belajar tentang nilai-nilai kebersamaan yang sangat jarang ditemukan di daerah perkotaan seperti menumbuk padi bersama. Belajar untuk tetap disiplin atas rayuan cuaca dingin di pagi hari. Belajar bersyukur atas nikmat-nikmat Tuhan yang tiada henti. Dalam kesederhanaan kita bisa memperkaya batin.

Tapi, satu hal yang paling dirindukan saat berada di daerah terpencil itu adalah suara adzan.  Kami tidak pernah mendengar suara adzan bersahut-sahutan karena tak ada listrik untuk pengeras suara. Masjid hanya satu, itu pun jarang digunakan. Hanya saat bulan ramadhan.





[1]  Rumah Pintar

*Amirah Mustafah, Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar

Tulisan ini juga dimuat pada Koran Harian Fajar, di kolom Apresiasi 24 Nov 2013

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel