Kegagalan Menuju Keberhasilan


Dewasa ini, terkadang secara individual beberapa orang merasa jatuh dengan kegagalan yang dihadapi. Tahu mengapa kegagalan yang menjatuhkan tersebut ada? Karena yang menilai adalah orang lain. Kita harus mengikuti kriteria yang telah ditetapkan oleh individu atau kelompok lain. Itulah sebabnya gagal membuat kita merasa jatuh.

Jika kita berpikir cermat dan sehat, sesungguhnya kegagalan adalah rangkaian perjalanan yang akhirnya mempertemukan kita dengan keberhasilan yang mantap.

Sebagai contoh, Thomas Alfa Edison tak pernah merasa jatuh dalam percobaannya untuk menemukan lampu listrik. Setelah gagal membuat lampu listrik sebanyak 9.998 kali, akhirnya Thomas berhasil menemukan lampu listrik pada percobaannya yang ke-9.999 pada tahun 1879. Luar biasa kan? Ini adalah bukti bahwa diri kita sendiri tak pernah menganggap kegagalan sebagai hal yang menjatuhkan.

Bahkan sebuah kutipan yang keluar dari mulut Thomas berbunyi seperti ini:
“Aku bukan gagal sebanyak 9.998 kali sebelum menemukan lampu listrik. Tapi aku berhasil menemukan 9.998 cara dan bahan kimia yang tidak dapat dialiri listrik”

Bahkan kegagalannya pun dianggap sebagai keberhasilan. Kutipan lain berbunyi:
“Andai saja aku berhenti pada percobaanku yang ke-9.998, maka aku tak akan pernah menemukan hal lain seperti projektor. Karena aku terus berkarya lewat kerja kerasku. Tak ada yang dapat menggantikan kerja keras”

Banyak dari kita yang mengatakan:
·         ”Mana bisa saya seperti Thomas?”
·         “Thomas kan independen, jadi dia punya banyak waktu untuk menemukan keberhasilan”
·         “Masa bodoh, saya adalah saya. Bukan Thomas”
·         “Dia kan orang barat. Sedangkan aku orang timur”
Mungkin juga ada yang berkata:
·         “Thomas hanyalah sebuah dongeng”

Banyak dari kita berpikir tentang kegagalan dan mengakibatkan perasaan jatuh yang sangat mendalam. Dari kegagalan mendaftar kerja misalnya, banyak orang menyerah begitu saja. Padahal mendaftarnya juga baru 3 kali mencoba. Padahal banyak orang yang berhasil menjadi karyawan hebat dan terkenal setelah berpuluh-puluh kali gagal mendaftar kerja.

Thomas memang bekerja secara bebas di laboratoriumnya, tak ada yang mengatur. Tapi bukan disitu intinya, Thomas mencintai kegagalannya dengan terus berusaha untuk menemukan sebuah puncak keberhasilan. Dan kau tahu, dia benar-benar berhasil memberi manfaat untuk banyak orang. Kegagalan yang dihadapinya, membuat Thomas berpikir dan mengoreksi kesalahannya. Koreksi-koreksi itulah yang juga menjadi jembatan Thomas menuju keberhasilannya.

Wajar saja ketika kita kadang merasa sakit dengan kegagalan. Tapi bukankah lebih baik mencoba berulang kali daripada hanya diam, merenung, dan berpikir seolah-olah kita tak akan pernah berhasil? Gagal dibuat sedemikian rupa oleh Tuhan agar kita memahami kekurangan yang kita miliki. Bukan malah menambah kesengsaraan hidup kita. Begitu pula dengan keberhasilan, Tuhan membuatnya ada agar kita terus berusaha dan berkarya lebih baik. Bukan malah cepat puas.

Thomas memang orang barat, dia lahir Ohio, Amerika Serikat. Tapi pernahkah ada diantara kita yang membaca kisah bung Karno? Dia adalah orang timur yang tak kalah hebatnya dengan orang barat. Mengapa? Karena beliau memiliki pandangan positif tentang Indonesia yang potensial. Berulang kali dipenjara dan diasingkan tidak menjadi penghalang buat dia. Di dalam penjara yang sempit, beliau terus berbenah untuk diri dan bangsanya.

Gagal dan berhasil adalah sebuah rangkaian perjalanan yang tidak dapat dipisahkan. Tak ada manusia yang benar-benar mutlak berhasil dengan seketika. Semua pernah mengalami kegagalan. Mereka yang berhasil, selalu berpikir tentang keberhasilan. Mereka juga punya semangat yang berasal dari pikiran positif tersebut.

Ada yang berkata, “Aku tak bisa berpikir positif”.

Berpikir positif bukan masalah bisa atau tidak bisa, tapi berpikir positif adalah masalah mau atau tidak mau. Dan saya rasa, semua orang mau untuk berpikir positif dan menjadi lebih baik. Mari berpikir positif.

_____________ 

Catatan: 

A.F. Syarif, penulis adalah mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel